Perkembangan Musik Kontemporer di Indonesia
Musik Kontemporer |
Sumber : https://theinsidemag.com/wp-content/uploads/2020/01/7-1.jpg |
Pengertian Musik Kontemporer
Pembentukan gerakan tersebut didasarkan ketidak setujuan mereka terhadap pandangan romantisme yang saat itu diterima oleh masyarakat dengan aliran seni baru yaitu impresionisme. Aliran baru tersebut lebih mengutamakan kesan atau impresi yang dibuat dari karya seni. Sehingga dalam musik kontemporer, banyak menggunakan elemen baru yang jelas menonjolkan dan menciptakan impresi. Pada 3 bulan terakhir di abad ke-19, musik orkestrasi dan juga piano mulai menghasilkan suara-suara merdu yang bahannya berasal dari seni sastra dan seni lainnya. Mulai dari pos modernisasi hingga impresionisme, selain itu muncul konsep melodi irama baru misalnya dari Stravinsky, Bantok, Coplad, Shostakovich, Prokofiev, Gorecki dan Barber.
Perkembangan Musik Kontemporer di Indonesia
Perkembangan musik kontemporer di Indonesia baru mulai dirasakan sejak digelarnya acara Pekan Komponis Muda tahun 1979 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Melalui acara tersebut, komunikasi para seniman antar daerah dengan berbagai macam latar belakang budaya lebih terjalin. Forum diskusi dan dialog antar seniman dalam acara tersebut saling memberikan kontribusi sehingga membuka paradigma kreatif musik menjadi lebih luas. Hingga hari ini, para komponis yang pernah terlibat dalam acara tersebut menjadi sosok individu yang sangat memberi pengaruh kuat untuk para komponis musik kontemporer selanjutnya.
Nama-nama seperti Aloysius Suwardi, Harry Roesli, Ben Pasaribu, Tony Prabowo, Yusbar Jailani, I Nyoman Windha, Otto Sidarta, dan masih banyak yang belum disebutkan, merupakan komponis kontemporer yang ciri-ciri karyanya nyaris mustahil dikategorikan secara konvensional. Selain memiliki keunikan tersendiri, karya-karya mereka juga cukup bervariasi. Sehingga dari waktu ke waktu konsep-konsep mereka bisa berubah-ubah tergantung pada semangat serta kapasitas masing-masing dalam mengembangkan kreativitasnya. Puncaknya, karya-karya musik kontemporer tak lagi menjelaskan ciri-ciri latar belakang tradisi budayanya walaupun sumber-sumber tradisi itu masih terasa lekat. Namun, sikap dan pemikiran individulah yang paling penting, sebagai landasan dalam proses kreativitas musik kontemporer.
Mengamati perkembangan musik kontemporer di daerah sunda tampaknya agak lamban. Selain apresiasi masyarakat Sunda belum begitu memadai, para komponisnya yang relatif sangat sedikit, juga dukungan pemerintah setempat atau sponsor-sponsor lain untuk penyelenggaraan konser-konser musik kontemporer sangat kurang. Di Yogyakarta misalnya, secara konsisten selama belasan tahun mereka berhasil menyelenggarakan acara Yogyakarta Gamelan Festival tingkat Internasional yang didalamnya banyak sekali karya-karya musik kontemporer dipentaskan. Kota Solo pada tahun 2007 dan 2008 telah menyelenggarakan acara SIEM (Solo International Ethnic Music). Banyak karya-karya musik kontemporer dipentaskan dalam acara itu dengan jumlah penonton kurang lebih 50.000 orang. Festival “World Music” dengan nama acara “Hitam Putih” di Riau, Festival Gong Kebyar di Bali dan lain sebagainya. Acara-acara tersebut secara rutin dilakukan bukan sekedar “ritual” atau memiliki tujuan memecahkan rekor Muri apalagi mencari keuntungan, karena pementasan musik kontemporer seperti yang pernah dikatakan Harry Roesli merupakan “seni yang merugi akan tetapi melaba dalam tata nilai”.
Di Bali, aktivitas berkesenian dengan ideologi ”kontemporer” sesungguhnya telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dengan lahirnya seni kekebyaran di Bali Utara. Namun wacana tentang musik kontemporer mulai mengemuka serangkaian adanya Pekan Komponis Muda I yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1979. Komponis muda yang mewakili Bali pada waktu itu adalah I Nyoman Astita dengan karyanya yang berjudul ”Gema Eka Dasa Rudra”. Pada tahun-tahun berikutnya Pekan Komponis Muda diikuti oleh komponis-komponis muda Bali lainnya seperti I Wayan Rai tahun 1982 dengan karyanya ”Trompong Beruk”, I Nyoman Windha tahun 1983 dengan karyanya berjudul ”Sangkep”, I Ketut Gede Asnawa tahun 1984 dengan karyanya berjudul ”Kosong”, Ni Ketut Suryatini dan I Wayan Suweca tahun 1987 dengan karyanya berjudul ”Irama Hidup”, I Nyoman Windha tahun 1988, dengan dua karyanya sekaligus yaitu ”Bali Age” dan ”Sumpah Palapa”.
Kehadiran karya musik kontemporer ini mulai terasa mengguncang persepsi masyarakat akademik di ASTI dan STSI (kini ISI) Denpasar dan juga di KOKAR Bali (kini SMK 3 Sukawati), karena musik ini cendrung mengubah cara pandang, cita rasa, dan kriteria estetik yang sebelumnya telah dikurung oleh sesuatu yang terpola, ada standarisasi, seragam, global, dan bersifat sentral. Konsep musik kontemporer menjadi sangat personal (individual), sehingga perkembangannyapun beragam. Paham inilah yang ditawarkan oleh musik kontemporer, sehingga dalam karya-karya yang lahir banyak terjadi vokabuler teknik garapan dan aturan tradisi yang telah mapan ke dalam wujud yang baru, terkesan aneh, nakal, bahkan urakan.
Kehidupan dan perkembangan musik kontemporer yang diawali event-event gelar seni baik dalam dan luar negeri akhirnya juga masuk ke ranah akademik. Mahasiswa jurusan karawitan ISI Denpasar telah banyak menggarap musik kontemporer sebagai materi ujian akhirnya. Hingga tahun 2009 penggarapan musik kontemporer masih mendominasi pilihan materi ujian akhir mahasiswa jurusan karawitan, hal ini menyebabkan secara produktivitas penciptaan musik kontemporer sangat banyak, model dan jenisnyapun sangat beragam. Penggunaan instrumen tidak hanya terpaku pada alat-alat musik tradisional Bali, juga digunakan instrumen musik budaya lainnya, bahkan mahasiswa sudah mengeksplorasi bunyi dari benda-benda apa saja yang dianggap bisa mengeluarkan suara yang mendukung ide garapannya.